Opini  

Sukardi Weda: Nomadisme dalam Politik

nomadisme politik
Guru Besar UNM Prof Dr Sukardi Weda.

Oleh: Prof Dr Sukardi Weda SS MHum MPd MSi MM MSosI MA

MAKASSAR, LINES.id – Nomadisme dalam politik acapkali disematkan pada para politisi yang senang melakukan pengembaraan atau perpindahan dari satu partai politik ke partai politik lainnya, yang lazim disebut dengan politisi nomaden. Politisi nomaden dalam praktik politik Indonesia kontemporer seringkali dipertontonkan secara vulgar oleh para politisi, baik itu politisi senior apalagi politisi yang masih bau kencur, masih pemula di percaturan politik.

Nomadisme dalam politik terjadi akibat beragam alasan. Ada politisi yang hijrah atau melakukan nomaden ke partai politik lain karena tidak lagi mendapat tempat empuk di partai sebelumnya. Kadang–kadang juga elit politik melakukan nomaden karena berkonflik dengan petinggi partai.

Ada juga yang melakukan nomaden karena tidak cocok dengan kebijakan partai, dan tidak sedikit dari para politisi yang hengkang dari partai politik sebelumnya karena tidak mendapat tempat terhormat di partai politik tersebut, atau kalah dalam pertarungan untuk meraih pucuk pimpinan di partai itu, sementara dia memiliki hasrat untuk mengendarai partai politik itu untuk pencalonan dirinya sebagai calon kepala daerah. Menurut dia ketika tetap bertahan di partai itu, dia akan dimarjinalkan oleh pemimpin partai yang baru dan nyaris tidak ada tempat baginya untuk mengembangkan karir politiknya.

Satu–satunya cara untuk kembali merajut kesempatan berkarir di ranah politik adalah hijrah ke partai politik lain dan tidak sedikit petinggi partai di pusat kekuasaan yang mendirikan partai politik. Bagi mereka yang memiliki potensi dan sumber daya yang memadai, dapat dengan mudah diterima dengan lapang dada di salah satu partai politik incarannya. Dia pun akan diberikan ruang untuk mengembangkan karir politiknya.

Baca juga: Jadi Narasumber Talk Show, Ini Pesan Sukardi Weda untuk Para Guru

Kadangkala seorang politisi pindah ke partai A karena di partai B tidak mendapat tempat untuk mengembangkan karir politiknya, sementara naluri mencari kekuasaannya telah membuncah, namun ketika di partai B juga mendapatkan hal yang sama, maka dia pindah ke partai C, dan tidak sedikit yang kembali ke partai A. Inilah praktik politik kontemporer Indonesia akhir-akhir ini yang setiap saat membuat publik menganga keheranan akibat praktik politik yang tidak biasa.

Politisi nomaden tidak mencerminkan dirinya sebagai politisi andal dan ideologi politik partainya tidak mendarah daging dalam dirinya, sehingga dengan mudah leluasa untuk melakukan perpindahan dari satu partai ke partai lainnya. Dan hal ini menjadi menarik sekaligus menjadi bahan tertawaan dan cibiran masyarakat kelas bawah.

Ini membuat persona nomadik tidak mempunyai ketetapan politik, tidak mempunyai realitas yang inheren dengan penanda-penanda tentang dirinya. Semua realitas hanyalah konstruksi kosong, selalu berbeda, dan kacau dengan image yang muncul. Bahkan lebih sering secara pekat, realitas yang akhirnya dianggap sebagai realitas adalah image itu sendiri. Dan image bukanlah suatu yang benar-benar diacu oleh si aktor. Hanya serupa topeng dan counterfeit atau palsu belaka (Eko Nugroho, 2011).

Nomadisme atau petualangan dalam politik bisa jadi hanya ada dalam praktis politik di Indonesia yang belum mapan, itulah sebabnya pengkaderan dan pendidikan politik yang baik perlu dilakukan secara bekelanjutan. Sekolah-sekolah politik perlu dimiliki oleh partai politik untuk mengkader para anggota dan simpatisannya sehingga tidak dengan mudah meninggalkan ideologi partainya, dan hengkang ke partai politik lain.

Yasraf Amir Piliang (2018) mengemukakan bahwa petualangan politik yang tanpa etika dan rasa malu ini telah menciptakan para ’nomad politik’ (political nomad), yaitu para politikus dan kelompok politik yang gandrung ’berpindah’ (nomadism): berpindah partai, bertukar identitas, berubah citra (image), berganti lambang, bertukar moto, tanpa pernah memiliki ketetapan dan konsistensi pada tingkat keyakinan politik. Ia tidak hanya bertukar-tukar baju, kulit, atau warna; akan tetapi juga berganti-ganti wadah, institusi, organisasi, kelompok, yang menciptakan semacam ’nomadisme politik’ (political nomadism).

Baca juga: Setelah Jogja, Aceh dan Makassar, Kini di Jambi Bertebaran Spanduk Memecah Belah Tolak Anies Baswedan

Politisi nomaden tak ubahnya seperti bunglon, yang dapat berubah warna kapan saja. Ini pulalah cerminan sebagian politisi Indonesia, yang tidak mencerminkan rasa malu, yang gandrung berpetualang. Ada seorang politisi ketika pemilu digelar masih memakai warna jaket merah, beberapa saat kemudian berubah menjadi warna kuning, dan tidak lama setelah itu berwarna biru lagi, dan juntrungannya kembali lagi ke warna merah atau warna kuning.

Ada juga elit politik ketika kalah bersaing dalam pemilihan nakhoda partai, dia hijrah ke partai lain dan ketika suksesi kepemimpinan di partai baru yang ia datangi tidak lagi memberikan ruang kepadanya untuk memimpin partai tersebut, dia kemudian pindah lagi ke partai lama. Ada juga ketika partai A, B, dan C, tidak lagi bersahabat dengannya, maka ia mendirikan partai politik baru sebagai tempat ia berlabuh untuk kembali bertenggang dalam meraih kekuasaan yang diangan-angankan.

Apapun alasannya sesungguhnya nomadisme dalam politik adalah praktik politik yang tidak mencerminkan kedewasaan dalam berpolitik dan hanya terobsesi dengan kekuasaan, sehingga politisi yang suka gonta ganti partai adalah sebagai seorang politikus bukan sebagai seorang negarawan yang diimpikan publik negeri ini. Syamsul Nizar (2015) mengemukakan secara ideal, partai politik sesungguhnya bukan menciptakan politikus, akan tetapi menciptakan negarawan melalui didikan kepartaian. (*)

Follow Berita Lines Indonesia di Google News.

Follow Channel WhastApp Lines Indonesia di WhastApp.