Diskusi Rutin ICMI: Apa Kata Al-Qur’an Tentang Demokrasi dan HAM

Sukardi Weda
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FBS UNM

Melaporkan dari Makassar

MAKASSAR, LINES.id – Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sulsel melaksanakan Diskusi Rutin ICMI: Apa Kata Al-Qur’an tentang Demokrasi dan HAM, di Lt. 5 Gedung Pascasarjana UNM, Makassar, Kamis (30/1/2020).

Kegiatan ini dihadiri oleh para Dewan Pakar ICMI Orwil Sulawesi Selatan, Ketua Orwil ICMI Sulsel, Prof. Dr. Arismunandar, Dr. Adi Suryadi Culla yang juga Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Dr. Muhammadong yang juga Ketua Harian PDRI Sulsel, dan lain-lain.

Diskusi ini menghadirkan nara sumber, Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag., Prof. Dr. A. Muin Fahmal, S.H., M.H., Prof. Dr. Arismunandar, dan dimoderatori oleh Prof. Dr. H. M. Tahir Kasnawi, yang juga Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Sulsel dan salah satu Ketua MUI Sulsel.

Direktur Pascasarjana UNM, Prof. Dr. H. Hamsu Abdul Gani, dalam welcome speech-nya selaku tuan rumah saat membuka diskusi menyambut baik kegiatan ini. Diskusi menjadi tempat untuk bertukar pikiran sehingga kita dapat memahami praktik-praktik peribadatan dalam Islam. “Kita ini harus kembali kepada Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Apapun yang dikatakan Al-Qur’an harus diikuti,” pungkasnya.

Prof. Dr. Arifuddin Ahmad dalam pengantar diskusinya mengatakan bahwa diskursus tentang hubungan antara Islam dengan demokrasi dan HAM masih penting hingga hari ini. Keduanya berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan manusia, yakni keadilan, persamaan dan kemerdekaan setiap orang, terutama sebagai bagian dari warga negara.

Al-Qur’an tentang Demokrasi dan HAM

Al-Qur’an adalah petunjuk yang dapat memberi nilai benar dan salah, Al-Qur’an bisa juga sebagai penguat hasil penelitian manusia. Kita tertuju pada praktik demokrasi, apa yang terjadi hari ini adalah praktik demokrasi. “Kita tidak boleh menyetarakan demokrasi dengan ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an, tetapi karya manusia didukung oleh Al-Qur’an,” papar Arifuddin.

Arifuddin Ahmad juga menyampaikan 3 hal yang mencerminkan hubungan antara Islam dan Demokrasi. Pertama, simbiosis mutualisme antara Islam dan demokrasi, saling membutuhkan dan saling mengisi. Kedua, hubungan antagonistik, bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi yang datang dari barat. Ketiga, hubungan reaktif-ktitis atau resiprokal-kritis, yaitu menerima adanya hubungan antara Islam dan demokrasi, tetapi dengan memberikan catatan kritis.

Titik temu demokrasi dengan Al-Qur’an yakni ide dasar demokrasi ini memiliki kesesuaian doktrin dengan Al-Qur’an yang membenci kezaliman dan eksploitasi. Serta menyenangi keadilan (al-‘adaalah), amanah (al-amanah), dan tanggungjawab (al-mas’uliyyah), kebersamaan dalam keragaman (al-musaawah atau persamaan), dan kemerdekaan (al-hurriyah) serta menyelesaikan masalah dengan asy-syuura (musyawarah).

“Idealnya, orang yang beragama Islam lemah lembut, saling memaafkan, memintakan ampun, tawakkal, dan praktik demokrasi harus diikuti dengan tauhid,” tutupnya.

Paparan Prof. Dr. A. Muin Fahmal

Dulu orang membeli mimbar dari unta, sekarang, orang membeli unta dari mimbar. Menurutnya telah terjadi distorsi keimanan. “Soal Al-Qur’an adalah petunjuk dan demokrasi merupakan proses berinteraksi dalam kehidupan bernegara,” tegasnya. Ia juga menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia harus memenuhi 5 sila dalam Pancasila.

Nilai dasar masyarakat Indonesia adalah kolektif komunal, yakni mengakui adanya hak kolektif terhadap suatu barang dan ada hak orang lain. Hukum sebagai instrumen demokrasi, yang filosofi dasarnya adalah kolektif komunal. Di Indonesia diterapkan hukum adat, hukum Islam, dan hukum Eropa. Hukum kita ini diramu dari ketiga bentuk hukum tersebut. Hukum adalah instrumen demokrasi yang dasarnya adalah tata nilai di masyarakat. “Hukum adalah hak rekayasa manusia,” tegasnya.

Sesi Diskusi

Prof. Dr. Heri Tahir sebagai salah satu penanggap mengatakan, umat Islam tidak mampu mengaktualisasi isi Al-Qur’an. Dalam hukum Islam ada namanya restorative justice, keadilan restorasi, mendudukkan pelaku dan korban dalam penyelesaian kasus, mempertemukan pelaku pembunuhan dengan korban/keluarga korban, dan bila keluarga korban memberi maaf, maka pelaku pembunuhan bebas dari tuntutan hukum. Hukum Islam lebih manusiawi daripada hukum positif yang berlaku di Indonesia yang bermuara dari barat kontinental, paparnya.

Penanggap lainnya, Prof. Sofyan Salam, Ph.D. mengatakan demokrasi dan HAM perlu diberi roh Islam, sehingga terbentuk demokrasi yang Islami dan HAM yang Islami. Demokrasi dan HAM berasal dari paham humanisme yang mengagungkan manusia, padahal kita ini adalah ciptaan Tuhan.

Prof. Dr. Arifuddin Ahmad menjawab tanggapan peserta dengan mengatakan “Konsep Islam harus jalan, kalau shalat tertib, tapi tidak tertib ketika berlalu lintas, tertib ketika menjadi bendahara masjid dan tidak tertib ketika menjadi bendahara kantor, karena hanya mengutamakan ibadah mahdhoh,” paparnya.

Penanggap lainnya adalah Prof. Dr. Rifdan, Dr. Adi Suryadi Culla, dan Dr. Muhammadong. Mereka juga menyoroti praktik demokrasi dan HAM dalam perpolitikan kontemporer Indonesia, dalam kaitannya dengan Islam dan kearifan lokal.

Dr. Sukardi Weda sebagai salah satu peserta yang juga Dewan Pakar ICMI Orwil Sulsel menyambut dengan antusias kegiatan ini karena menjadi ruang bagi cendikiawan muslim untuk sharing pengetahuan tentang praktik-praktik demokratisasi, HAM, politik, pengetahuan agama, pendidikan, dan isu-isu aktual lainnya.

Dalam sesi penutupan, Ketum ICMI Orwil Sulsel, Prof. Dr. Arismunandar, menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang setinggi tingginya kepada Pimpinan UNM, kepada para Pemateri, panitia dan kepada para peserta yang telah berpartisipasi demi terselenggaranya diskusi ini. “Mari terus mendiskusikan demokrasi, HAM, Hukum, Politik, Pendidikan, dan topik-topik lainnya di berbagai forum diskusi,” tutupnya.

Follow Berita Lines Indonesia di Google News.

Follow Channel WhastApp Lines Indonesia di WhastApp.