MAKASSAR, LINES INDONESIA – Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan menggelar Temu Budaya Akhir Tahun 2024 di Gedung Mulo Mini Mall, Makassar, Sabtu (28/12/2024).
Narasumber dalam Temu Budaya tersebut adalah Prof Dr Munsi Lampe, yang juga Antropolog Universitas Hasanuddin, dengan makalah berjudul “Budaya Religius, Budaya Maritim: Refleksi Budaya Sulawesi Selatan 2024,” Dr. Andi Ihsan, M.Sn., Dr. Abu Haif, M.Hum, yang juga Dekan FSD Universitas Negeri Makassar, dan beberapa Penanggap, seperti Rusdin Tompo, S.H., Drs Eddy Thamrin, Dr Hasanuddin.
Dalam sambutannya, Dr H Ajiep Padindang, yang juga Wakil Ketua Komisi Ketatanegaraan MPR RI, membacakan Pidato Wakil Ketua DPD RI, bidang Perekonomian dan Pembangunan, H. Tamsil Linrung.
Sulawesi Selatan adalah tanah yang kaya. Bukan hanya sumber daya alamnya, tetapi juga kaya dengan nilai-nilai budaya. Masyarakat Bugis sebagai unsur penting dalam khazanah etnis di Sulawesi Selatan, telah mewariskan peradaban yang sarat dengan keunikan adat istiadat, yang menariknya berasimilasi secara harmonis dengan nilai spiritualitas Islam.
Dalam bukunya, The Bugis, Christian Pelras mencatat bahwa masyarakat Bugis-Makassar memiliki etos maritim dan etos kerja keras yang ditopang oleh nilai-nilai agama. Pelras menekankan bahwa “adat yang bersendikan syara’, syara’ yang bersendikan Kitabullah” telah menjadi filosofi hidup masyarakat Bugis sejak abad ke-17. Hal ini menegaskan bahwa integrasi budaya dan agama telah menjadi kekuatan utama masyarakat Sulawesi Selatan dalam membangun identitas di panggung sejarah.
Nilai-nilai seperti sipakatau (saling memanusiakan), sipakainge (saling mengingatkan), dan sipakalebbi (saling memuliakan), sejatinya adalan refleksi nyata dari prinsip ukhuwah Islamiyah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dalam masyarakat Bugis, nilai-nilai ini telah menjadi pedoman moral yang mengatur interaksi sosial, menegaskan makna hidup yang menghormati kemanusiaan dan keadilan.
Budaya dan spiritualitas merupakan energi pembangunan. Pengalaman sejarah bangsa-bangsa maju seperti Jepang dan China, merupakan bukti otentik bahwa sinergi antara budaya dan spiritualitas dapat menjadi energi yang luar biasa untuk pembangunan. Jepang, misalnya, melalui prinsip wa (harmoni) yang berakar pada tradisi Shinto dan nilai-nilai Zen Buddhisme, telah membangun etos kerja yang mengedepankan disiplin, kerjasama, dan penghormatan terhadap alam. Nilai-nilai ini tidak hanya menjadikan Jepang sebagai salah satu negara termaju di dunia, tetapi juga memberikan kekuatan soft diplomacy melalui konsep omotenashi atau keramahan yang otentik.
Hal serupa dapat dilihat di China, di mana nilai-nilai Konfusianisme seperti li (kesopanan) dan ren (kemanusian), menjadi fondasi sosial yang menggerakkan bangsa ini menjadi kekuatan ekonomi global. Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa pada tahun 2023, Jepang dan China termasuk dalam 10 besar negara paling inovatif di dunia, dengan indeks budaya dan etos kerja yang tinggi sebagai salah satu pilar kunci.
Resep dari keberhasilan kedua yang dicontohkan tersebut adalah
kemampuan mereka untuk mensinergikan budaya dan spiritualitas sebagai fondasi nilai, tanpa kehilangan identitas mereka. Bahkan, identitas tersebut menjadi kekuatan soft diplomasi yang memperkuat posisi mereka dalam percaturan internasional.
Diplomasi maritim masyarakat Bugis merupakan mata air sumber inspirasi. Refleksi atas pengalaman ini membawa kita pada sejarah gemilang masyarakat Bugis. Dalam dunia maritim, manusia Bugis dikenal sebagai pelaut ulung yang berani membelah samudera hingga ke ujung dunia yang baru. Berbagai misi diemban mengarungi lautan. Mulai dari berdagang, menjalin hubungan diplomasi, hingga dakwah menyebarkan nilai-nilai keislaman.
Kapal pinisi, yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia, bukan semata alat transportasi. Tapi manifestasi budaya dan adat, simbol teknologi maritim, juga lambang dari semangat kebersamaan, keuletan, dan inklusivitas masyarakat Bugis terhadap dunia.
Hadir dalam Temu Budaya tersebut, ada Prof Dr Sukardi Weda, guru besar UNM, Prof Dr Amran Razak, guru besar Unhas, Prof Dr Muhammad Azis, guru besar UNM, dan sejumlah penggiat seni dan budaya di Sulawesi Selatan.
Dalam pandangannya Prof Sukardi Weda, sepakat dengan Dr. Ajip Padindang bahwa: 1. Sepakat, bahwa Jepang, China, Korea Selatan maju karena kearifan lokalnya. Di era 1980-an, kita sama dan sejajar dengan Korsel, Singapura, China, Malaysia, tapi kita tertinggal jauh karena mereka optimal di bidang pendidikan dan kebudayaan, 2. Kita apresiasi survey tadi, tentang pelestarian budaya di Sulawesi Selatan, tapi harapan kita semua kelompok etnik terwakili, di Sulsel, seperti Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja, jadi subjeknya lebih diperluas lagi, 3. Kebudayaan adalah baik, semua budaya baik, minimal bagi pemilik budaya itu. Untuk itu perlu perhatian untuk pelestarian budaya tersebut sebagai sumber pembangunan bangsa. Para pemilik budaya juga perlu memahami CCC (cross cultural competence), supaya terjalin mutual understanding, karena salam paham dalam masyarakat dapat mengakibatkan konflik komunal, konflik sosial, dan menjadi konflik laten, maka perlu kompetensi pemahaman antar budaya (CCC), dan saya ada beberapa tulisan dalam bentuk artikel ilmiah tentang CCC dan cross cultural understanding, dan 4. Kalau saya ditanya, bidang/aspek apa yg penting dan utama untuk pembangunan. Saya dengan tegas akan mengatakan sosial budaya, karena kalau masyarakat kita tidak aman, yakin bidang lain: ekonomi, hukum, dll juga akan morat marit. Untuk itu mari menempatkan aspek budaya sebagai hal yang sangat fundamental dalam pembangunan bangsa.
Follow Berita Lines Indonesia di Google News.
Follow Channel WhastApp Lines Indonesia di WhastApp.